Jumat, 15 Mei 2020

LAGI, MASIH SOAL KHILAFAH




Oleh : Ahmad Khozinudin
Hak Adopsi Hukum (Tabbani) dalam Islam ada pada Khalifah, bukan badan yang lain. Didalam Islam, tidak dikenal adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan (sparation of power).
Khalifah memiliki kekuasaan penuh menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan, mengadopsi sejumlah hukum dan perundangan dan menegakan sistem peradilan untuk mengontrol agar syariah ditaati, baik oleh rakyat maupun aparat negara.
Memang benar hanya Khalifah yang berwenang melakukan legislasi hukum dan perundangan, baik dalam tataran Dustur (Konstitusi) maupun Qanun (UU).
Namun Khalifah dalam mengadopsi hukum dan perundangan wajib terikat dengan dalil. Dalil, dalam sistem khilafah hanyalah Al Qur'an, as Sunnah, serta apa yang ditunjuk oleh keduanya berupa Ijma'Sahabat dan Qiyas Syar'i.
Itu artinya, fungsi legislasi Khalifah hanyalah mengistimbath dalil bukan membuat Hukum. Karena dalam Islam, membuat hukum hanyalah hak Allah SWT.
Diantara Qanun atau UU yang akan diadopsi Khalifah adalah larangan (haram), bagi individu, swasta, domestik, asing maupun aseng, memiliki dan menguasai tambang-tambang dengan deposit yang melimpah.
Semua tambang akan di konversi menjadi milik umat dan diambil alih Negara secara paksa -tanpa kompensasi- dari tangan individu, swasta, domestik, asing maupun aseng.
Jika khilafah tegak di negeri ini, maka tambang emas yang dikelola PT Freeport, tambang minyak Exon Mobile, Conoko, Phillips, Tambang Nikel sejumlah Perusahaan China, termasuk Tambahan Batubara Milik Luhut, Erick Thohir, tambang Minyak dan Gas milik Group Bakrie, tambang milik para pengusaha, baik pengusaha domestik maupun asing, semuanya akan diambil alih oleh Negara Khilafah, berdasarkan Adopsi UU yang dikeluarkan Khalifah.
Selanjutnya, Khalifah akan mengelola tambang untuk kemudian manfaatnya dikembalikan kepada rakyat selaku pemilik, baik dalam bentuk natural hasil tambang, layanan umum, sejumlah fasilitas dan layanan, serta berbagai bentuk kemaslahatan lainnya.
Negara tidak perlu menarik pajak, karena sumber pemasukan bagi anggaran negara di Baitul Mal telah tercukupi. Atau, jika Negara terpaksa menarik pajak itu dilakukan hanya dalam kondisi darurat, bersifat insidental, hanya dibebankan kepada warga negara muslim yang kaya.
Khalifah langsung menerapkan sistem peradilan Islam, dimana lembaga peradilan dibagi pada tiga kompetensi :
Pertama, Qadli Khusumat yakni peradilan umum untuk menangani sengketa antara rakyat dan pelanggaran hukum syariah.
Qadli Khusumat dilembagakan melalui sebuah sidang pengadilan. Tidak ada putusan Qadli yang mengikat, kecuali diucapkan secara terbuka pada suatu sidang yang terbuka untuk umum.
Perkara-perkara pelanggaran syariat seperti mencuri, berzina, liwadt, minum khamr, atau sengketa antar sesama warga negara seperti penegakan hukum Qisos Diyat, termasuk sengketa akad perdata, semua ditangani peradilan ini.
Kedua, Qadli Hisbah yakni lembaga peradilan yang menangani kasus dilanggarnya hak-hak jamaah (publik).
Qadli Hisbah bersifat aktif, melakukan pemantauan dan kontrol secara langsung pada berbagai kemaslahatan publik. Qadli Hisbah berkeliling ke pasar-pasar, ke berbagai tempat layanan umum, didampingi oleh Syurtoh (Polisi Syariah), untuk memeriksa sekaligus mengadili di tempat kejadian, jika terdapat pelanggaran hak jamaah.
Ketiga, Qadli Madzalim yakni peradilan yang mengadili Perkara kezaliman penguasa terhadap rakyat. Baik kezaliman itu berasal dari Khalifah, Muawin Tafwidz, Wali, Amil, juga seluruh kezaliman yang dilakukan oleh aparat negara Khilafah.
Mahkamah Madzalim juga menangani sengketa adanya pema'zulan terhadap seorang Khalifah, baik karena keluar dari syarat in'ikad maupun keluar dari akad baiat yakni menerapkan syariat Islam.
Prinsipnya, khilafah adalah negara hukum, hukumnya bersumber dari al Qur'an dan as Sunnah. Khilafah bukan negara Kekuasaan, dimana hukum dilegislasi oleh lembaga Kekuasaan seperti dalam sistem demokrasi (DPR)

Artikel dalam postingan akun Facebook Ahmed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar