Senin, 04 Mei 2020

SAAT NYAWA DIANGGAP TAK BERHARGA


Oleh : Nasrudin Joha

Memang, rakyat yang meninggal karena virus Corona angkanya tak sampai 500 orang. Benar pula, dibandingkan 270 juta penduduk Indonesia, angka dibawah 500 orang meninggal tak ada apa-apanya.

Jangankan angka dibawah 500 orang yang meninggal karena sebab yang jelas, yakni karena Virus Corona. 894 orang Petugas KPPS Meninggal Dunia saat Pemilu tanpa sebab yang jelas pun dianggap bukan masalah.

Jadi, jika angka 894 orang saja dianggap wajar 'sebagai tumbal' untuk menaiki tahta kekuasaan, apalagi hanya angka yang dibawah 500 untuk mempertahankan kekuasaan. Terlebih lagi, angka dibawah 500, mencapai 500, melebihi 500, bahkan jika mencapai angka ribuan pun tak akan di anggap masalah, karena telah ada dalih pembenar : mati karena Virus Corona.

Itulah sikap batin yang menggelayuti penguasa di negeri ini, Luhut Binsar Panjaitan hanya mewakili sikap batin para pejabat di negeri ini yang memang tak peduli pada nasib rakyat.

Jangan berharap, dengan bertambahnya jumlah korban, banyaknya tangisan kesedihan keluarga Korban, capainya para dokter dan petugas medis bertempur melawan Corona akan menggerakkan sikap batin penguasa di negeri ini untuk sungguh-sungguh memikirkan rakyat.

Lihat saja anak bau kencur yang jadi Stafsus Presiden. Ditengah situasi pandemik, mereka tanpa malu berebut proyek Negara, untuk memindahkan duit dari kantung APBN ke kantong pribadi mereka. Mereka, dan seniornya sama saja : diotaknya hanya ada duit, duit, dan duit.

Para pejuang, kaum pergerakan juga jangan bermimpi penguasa di negeri ini akan mengundurkan diri karena tak becus mengurus rakyat. Bahkan, hingga seandainya seluruh rakyat mati menjadi bangkai, mereka tetap akan sombong duduk di singgasana Kekuasaan yang disusun diatas tumpukan tulang belulang dan tengkorak rakyat.

Nyawa, dalam sistem sekuler memang tak ada harganya. Bencana, juga tak dipandang sebagai peringatan dari Allah SWT agar manusia berbenah.

Mereka, melihat fenomena alam dan kehidupan hanya dalam pandangan materi. Tak ada nilai selain nilai materi.

Disituasi sulit saat pandemik, para penguasa sekuler ini justru memanfaatkan bencana untuk melegitimasi Kezaliman dan menutupi ketidakmampuan mengelola pemerintahan.

Berdalih Covid-19, batas ambang defisit APBN terhadap PDB dinaikan diatas 3 %, bahkan tanpa nilai maksimum. Berapapun defisit diperkenankan, bahkan hingga tahun 2023.

Andai saja Corona berakhir bulan ini, penguasa zalim ini punya sandaran legitimasi untuk mengelola APBN secara defisit parah, hingga 2023.

Pengelolaan dana Rp 405,1 T untuk Covid-19 juga tak transparan. Karena dideklarasikan sebagai anggaran yang bukan termasuk keuangan negara, tak ada kerugian negara, sehingga BPK tak bisa periksa adanya korupsi, KPK tak bisa menyidik penyimpangannya.

Diotak penguasa yang ada hanyalah bagaimana menyelamatkan bisnis, kekuasaan, dan kepentingan partai dan kelompoknya. Semua fasilitas negara, dimaksimalkan untuk memberi nafas bagi bisnis para kapitalis, bukan untuk menyambung nyawa rakyat.

Nyawa rakyat dianggap sepele, dinilai rendah. Berkurangnya jumlah jiwa, dianggap mengurangi beban negara. Padahal, tanpa rakyat negara tak bisa mendapatkan pajak.

Tanpa rakyat, para penguasa itu tak bisa petantang petenteng memanfaatkan fasilitas Negara. Tak bisa sombong memamerkan kuasanya. 


artikel di post oleh akun facebook bernama Ahmed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar